Selasa, 05 Januari 2016

“Mengapa Kau Memilih Sendiri.?"

Seiring mengenalmu sejak pertemuan itu, banyak hal terlintas dalam pikiranku. Tentangmu. Apalagi dengan keadaan ketika raga ini tak lagi mampu saling berhadapan. Hanya muka buku dan media garis, tempatku berdiam diri memperhatikan tingkahmu.


Aku mungkin menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya diantara banyaknya perempuan yang mengenalmu, yang ingin menanyakan hal bodoh dan menggelikan dan mungkin merusak privasimu : “Mengapa kau memilih sendiri.?” .Tak seperti kawan-kawan lain yang melakukan perjalanan dengan “dia kesayangan”, ‘cekreek’ langsung upload. Biar dibilang kekinian…
Tapi dirimu?? Tak pernah ku lihat demikian… gambar-gambarmu dari B612, menampakan kesendirian. Diantara pesona alam negeri ini, kau berdiri sendiri, tanpa ‘dia’ seorang kesayangan. Perjalanan panjang nampaknya kau lalui seorang diri. 

Yaaaa… Meski tak dipungkiri, ada sebagian kawan-kawan ikut tersemyum tertawa baersama yang terekam sebagian gambar. Sampai pada akhirnya pikiran gilaku ini menyimpulkan banyak jawaban yang sebagian besar PASTI SALAH..
“mungkin kamu belum punya ‘dia’ kesayangan?”
“mungkin kamu lebih memilih bebas?”
“mungkin bagimu ‘dia’ kesayangan akan datang dimasa depan bukan sekarang?”
“mungkin kamu bukan seperti temanmu yang bahagia jika ketika memiliki ‘dia’ kesayangan?”
“mungkin kesendirianmu adalah cara yang kamu pilih dalam masa penantian?”
“mungkin kekuatan imanmu yang kuat terpatri dalam hatimu?”
“bahkan mungkin kamu sudah memiliki ‘dia’ kesayangan (tapi aku tak tahu) T_T.”


mungkin…. mungkin … dan mungkin….
seribu kemungkinan itu lah yang membuatku yakin bahwa jawabnku PASTI SALAH.
Apalagi jawaban….. “mungkin Tuhan menginginkan KAMU tetap sendiri, sampai tiba saatnya mengirimkan AKU sebagai penghapus kesendirianmu di masa-masa sebelumnya” Insyaallah,,,,


((Tak salah jika aku meng-Aamiin-kan hal ini kan??  karena bagiku…selalu menyemangatimu selalu mendoakanmu adalah cara terbaik yang aku pilih untuk ambil bagian dalam kehidupanmu.))



*Penggerak Pena Bertinta Bening, Perangkai Kata Yang Tak Pernah Tersampaikan Lewat Suara

Sabtu, 02 Januari 2016

“Mendem Kangen Slira(mu)”


“Abot rasane nandang kangen ati”
“Mergo tresnoku sing gede”
“Tansah kelingan awan bengi”
“Mung biso telfon marang sliramu”
“Gawe tombo kangen rinduku”
“Mergo adoh jarak sliramu”


“Mendem kangen njroning atiku”
“Soyo jeru mung telfon sliramu”
“Mendem kangen pengen ketemu”
“Nadyan sak kedep wes marem atiku”
“Mendem kangen njroning atiku”
“Nambah jeru mergo tresnoku”
“Mendem kangen pengen ketemu”
“Nadyan sedelo wes adem atiku”

Ini adalah bait-bait lagu yang telah mengungkapkan keadaan hati ini, sebuah perasaan rindu yang tak tertahan pada “dirinya”. Siapakah gerangan dirinya???

Dirinya yang dipertemukan denganku dalam pengabdian;
Dirinya yang senantiasa mengajariku untuk bersyukur dengan apapun keadaan;
Dirinya yang tak pernah berhenti melakukan hal-hal bermanfaat untuk orang banyak;
Dirinya yang tak pernah lelah mengejar mimpi-mimpinya;


Dirinya yang selalu menginspirasi orang lain (termasuk diri ini)
Dirinya yang selalu berjuang dan mengabdi pada negeri;
Dirinya yang selalu semangat dan mampu menyemangati;
Dirinya yang tak akan pernah berhenti melangkah ke penjuru negeri;
Dirinya yang menyadarkanku bahwa tiap manusia punya hak untuk dicintai;
Dirinya yang mampu menyalurkan sebuah senyum semangat pada diriku;
Dirinya yang mampu meyakinkanku akan pertemuan kedua setelah masa ‘itu’;
Dan…
Dirinya yang telah menjadi kenangan terindah dalam hidupku;
Dirinya yang tanpa ku meminta izin, telah aku kagumi dalam diam;
Dirinya yang menjadikan jarak ribuan kilo terasa begitu dekat;
Dirinya yang akhir-akhir ini aku sebut dalam semoga-semogaku pada-Nya;

Dirinya yang menempati ruang kosong disudut hati;

Namun,,,

Dirinya pula yang (mungkin hanya) menjadi mimpi-mimpi indahku;
Dirinya pula yang (mungkin hanya) menjadi penyemangatku sesaat ini;
Dirinya pula yang (mungkin hanya) membuatku berharap  sebagai pendamping perjalanan panjang pengabdiannya;
Dirinya pun harus tahu bahwa, dirinya pula yang sesekali membuatku menangis, ketika hati ini tak yakin adanya pertemuan kedua;

Dirinya… dirinya… dirinya….
Tak habis ku tuliskan tentang “dirinya”
Dan… Aku pun hanya bisa yakin bahwa:

“Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik dan terindah untuk aku dan dirinya… jika harus bahagia bersama ataupun bahagia masing-masing..”  
aamiin aamiin ya Rabb

Banyumas, 31 Desember 2015

*kak Hesti

* Penggerak Pena Bertinta Bening, Perangkai Kata Yang Tak Pernah Tersampaikan Lewat Suara

“16 pendaki gunung”.

Tiga tahun lalu, kami  merencanakan untuk satu hal besar. “Mendaki Gunung”. Apapun keadaannya kita pasti akan mendaki gunung itu. Persiapan panjang mengantarkan kita pada waktu yang sudah ditentukan. Tak terasa.
Tekad, niat dan saling menyemangati satu sama lain adalah cara kita untuk mencapai puncak. 7 pos harus kita lalui untuk sampai dipuncak. Kita ber-16 yakin bahwa kita BISA. 16 pendaki ini punya karakter yang berbeda-beda. Perbedaan itulah yang menjadikan perjalanan ini penuh warna. Awalnya kita start bersama dari basecamp. Saling bergandengan tangan.
Namun……Seiring berjalannya waktu, entah ini meninggalkan atau memang sengaja meninggalkan diri, kami terpisah. Pendakian ini tak semudah yang kami bayangkan. Rintangan demi rintangan diantara semak belukar, membuat beberapa dari kami harus tertahan.
Sampai suatu ketika aku menyadari, posisiku masih di pos dua, sedangkan beberapa kawan ku sudah jauh di depan. Mungkin pos lima, pos enam atau bahakan pos tujuh yang tinggal beberapa langkah lagi sampai puncak.


“Mengapa? Mengapa mereka meninggalkanku?” tanyaku dalam hati. Dari sudut mataku, air mataku berlinang. Dalam kelelahan ini aku tepuruk sendiri di antara semak belukar. Merasa ini tak adil. Merasa tak ada yang perduli denganku.
“Siapa yang meninggalkanmu? Bukankah dirimu yang meninggalkan diri?” sebuah suara menyeru ditelingaku. Mengagetkanku.
“ketika kawanmu berlari, mengapa kau hanya mampu melangkah perlahan? Itu salahmu bukan?”
“mereka tak sedikitpun memiliki niatan meninggalkanmu, justru mereka mengorbankan diri terlebih dahulu untuk merasakan rintangan besar yang harus kalian lalui untuk sampai dipuncak, ketika mereka mampu melewati rintangan itu, mereka akan mengabarkanmu cara melewatinya pula, bukan kah mereka baik padamu?” suara itu semakin keras. Tegas. Dan aku tak mampu menjawabnya.
Kembali aku menangis, dan kini air mataku mengalir lebih deras. Suara itu menyadarkanku. Dan aku pun menyesali semua apa yang telah aku lakukan.
Beberapa sahabat-sahabatku yang mungkin sudah mendekati puncak, sejatinya mereka tak meninggalkan aku. :”) . aku harus yakin dengan kemampuan yang aku miliki. Meski kami harus terseok-seok dalam pendakian ini, tapi kami tak kan menyerah. Kami akan sampai pada puncaknya, suatu saat nanti.
Untuk kelimabelas sahabatku, ketika aku tertinggal dibelakang, jangan pernah berhenti untuk memberiku semangat, jangan segan menggertakku agar aku lekas berjalan, jangan sungkan menarik tanganku atau mendorong punggungku. Namun jangan pernah kau bawakan tas carrier ku. Karna tas mu sendiri sudah berat :D .
Jika satu langkah lagi kalian sampai puncak, maukah kalian menahannya? Sebantar saja…karena aku akan berlari dengan kekuatan terakhirku agar satu langkah terakhir kita menjadi satu langkah bersama di puncak kemenangan. Saat itulah sunrise teridah sepanjang hidup kita menyambut perjuangan kita dan kita ber-16 akan tersenyum bahagia, saling berpelukan seraya berteriak “Happy Graduation NGEPETERs”.




Purwokerto, 23 Januari 2016
#Kak_HestiDwi
*Penggerak pena bertinta bening, Perangkai kata yang tak pernah tersampaikan lewat suara